21 April tahun 2017 ini masih saja pertanyaan "Mengapa Kartini ada harinya sedangkan Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Dewi Sartika, Rohana Kudus, Maria Walanda Maramis, Martha Christina Tiahahu dan pahlawan wanita lain dari setiap daerah tidak ada?". Jawaban setiap tahun pun berbeda-beda, apalagi di era diserbadigitalkan ini mungkin tulisannya sudah banyak dan semakin banyak berkeliaran di dunia maya. Tinggal mau membaca dan mencernanya saja. Eh tapi tenang, bukan itu kok yang akan saya bahas. Wong tentang Kartini yang saya hapal secara fasih hanya judul buku Habis Gelap Terbitlah Terang dan lagu W.R. Supratman berjudul Ibu Kita Kartini yang ada di buku legendaris Kumpulan Lagu Wajib dan Nasional. Do re mi fa sol mi do, la do si la sol, fa la sol fa mi do, re fa mi re do. Itu saja.

Kartini yang berbekas diingatan saya baru-baru ini adalah film biografi besutan sutradara Hanung Bramantyo yang diperankan oleh Dian Sastro. Film yang mempertemukan Reza Rahadian dan Adinia Wirasti sebelum film Critical Eleven yang ditunggu pembaca setia Ika Natassa tayang 10 Mei nanti. Reza Rahadian memerankan Sosrokartono, kakak laki-laki Kartini yang dalam film digambarkan sebagai pemberi "kunci" untuk membuka pintu dunia pada Kartini. Beberapa hal menarik tentang Sosrokartono saya baca di Historia, ternyata memiliki bakat supranatural dan seorang poliglot. Selain Dian Sastro, Reza Rahardian, Adinia Wirasti, juga berjejer artis dan aktor kawakan Indonesia lainnya dengan penggunaan 3 bahasa, Indonesia, Jawa, dan Belanda sepanjang 122 menit.

Fokus film ada pada kehidupan Kartini sebagai perempuan Jepara yang menjalani tradisi dan merasa resah akan tradisi yang membatasi ekspresi, terutama pada kaum wanita, lalu berusaha mendobraknya. Entah bagaimana jika saya hidup di abad pengantar milenium kedua itu. Dipingit sejak dari menstruasi pertama hingga dipinang laki-laki yang belum tentu masih sendiri alias sudah beristri, tidak diijinkan mengenyam pendidikan tinggi, tidak bisa negosiasi untuk tidak dipoligami, tidak bisa memanggil Ibu kandung dengan panggilan Ibu, dan banyak hal lain yang membatasi perempuan untuk mengembangkan diri. Itu pun jika lahir dari keluarga priyayi, bagaimana jika terlahir dari rakyat biasa di bawah hegemoni Londo?

Pada akhirnya, Kartini menyerah pada tradisi yang mengharuskan dia menjadi seorang Raden Ayu dengan menikahi pria bangsawan yang bukan pilihannya. Salah satu syarat Kartini mau dinikahi adalah dengan dibuatkannya sekolah untuk wanita di mana sekolah itu menjadi sekolah wanita pertama pada masa pendudukan Hindia-Belanda.

Kartini adalah segelintir orang yang beruntung karena masih bisa membaca dan menulis, serta bisa berbahasa asing sehingga memberikan jalan buatnya untuk berkomunikasi dengan sahabatnya dari Belanda, Rosa Abendanon dan Ovink Soer. Komunikasi itu lah yang membuka wawasan Kartini tentang emansipasi yang tentu saja berujung ke pergerakan feminisme. Feminisme di Indonesia yang masih banyak dianggap negatif dinetralkan oleh Hanung dengan adegan pertemuan Kartini dan seorang Ustad dan membahas salah satu ayat Al Quran bahwa dari sisi agama, kesetaraan perempuan layak diperjuangkan. Inti dari gerakan Kartini adalah untuk pengarahan dan pengajaran agar anak-anak perempuan mendapatkan pendidikan.

source : imdb